Senin

Pendekatan Kontektual dalam Pembelajaran IPA

Mata pelajaran IPA sebagai proses pembelajaran yang menekankan pada pemberian pengalaman lansung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara alamiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inquiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar (Depdiknas 2006:57). Oleh karena itu pembelajaran IPA di SD menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah.

Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran IPA menurut kurikulum 2004 berorientasi pada siswa. Peran guru bergeser dari menentukan ”apa yang akan dipelajari” ke ”bagaimana menyediakan dan memperkaya pengalaman siswa”. Pengalaman belajar diperoleh melalui serangkaian kegiatan untuk mengeksplorasi lingkungan melalui interaksi aktif dengan teman, lingkungan dan nara sumber lain.

Depdiknas (2006:8) menjelaskan ada beberapa pertimbangan lain yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran IPA di SD yaitu: (1) Empat pilar pendidikan (belajar untuk mengetahui, belajar untuk berbuat, belajar untuk hidup dalam kebersamaan dan belajar untuk menjadi dirinya sendiri). (2) Inquiri sains. (3) Kontruktivisme. (4) Sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat.(5) Pemecahan masalah dan pembelajaran sains yang bermuatan nilai.

Prinsip-prinsip yang dapat diturunkan dari konststruksivisme ialah bahwa anak-anak memperoleh banyak pengetahuan diluar sekolah, dan pendidikan seharusnya memperhatikan hal itu dan menunjang proses alamiah ini. Untuk melaksanakan proses belajar seperti ini Ratnawilis (1989:160) menyarankan beberapa prinsip mengajarkan sains/IPA di Sekolah Dasar sebagai berikut:

(a) Siapkan benda-benda nyata untuk digunakan para siswa.

(b) Pilihlah pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak

(c) Perkenalkan kegiatan yang layak, dan menarik, dan berilah para siswa untuk menolak saran-saran guru.

(d) Tekankan penciptaan pertanyaan-pertanyaan dan masalah dan demikian pula pemecahan-pemecahannya.

(e) Anjurkan para siswa untuk berinteraksi

(f) Hindari istilah teknis dan tekankan berpikir.

(g) Anjurkan siswa berpikir dengan cara mereka sendiri.

(h) Perkenalkan ulang (reintroduce) materi dan kegiatan yang sama setelah beberapa tahun.

Siswa menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti dalam membangun pengetahuannya dalam pembelajaran. Siswa mempelajari materi pelajaran yang disajikan melalui konteks kehidupan mereka, dan menemukan arti di dalam proses pembelajaran tersebut.

Sesuai dengan Standar Kompetensi Dasar Tingkat SD/MI 2006 mata pelajaran IPA di SD dalam Depdiknas (2006:57) bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

(a) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya.

(b) Mengembangan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

(c) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, tegnologi dan masyarakat.

(d) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

(e) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.

(f) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan tuhan.

(g) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.

Kompetensi-kompetensi dasar dalam pembelajaran IPA di SD harus ditumbuhkan dalam diri siswa sesuai dengan taraf perkembangan pemikirannya. Kompetensi-kompetensi ini akan menjadi roda penggerak penemuan dan pengembangan fakta dan konsep serta penumbuhan dan pengembangan sikap, wawasan dan nilai. Dengan kata lain lulusan SD diharapkan memiliki kompetensi-kompetensi IPA diaplikasikan dalam kehidupannya.

Penerapan pendekatan kontektual dalam pembelajaran didasarkan adanya kenyataan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatannya dalam kehidupan nyata. Hal ini karena pemahaman konsep akademik yang mereka peroleh hanyalah merupakan sesuatu yang abstrak, belum menyentuh kebutuhan praktis kehidupan mereka baik dilingkungan kerja, maupun masyarakat (Masnur 2007:40)

Penyusun program pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual, dirancang guru yang akan melaksanakan pembelajaran di kelas. Program berisi skenario tentang apa yang dilakukan siswanya sehubungan dengan materi yang akan dipelajarinya. Saran pokok dalam penyusunan program pembelajaran kontekstual menurut Depdiknas (2002:23) adalah sebagai berikut:

(a) Nyatakan kegiatan utama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar.

(b) Nyatakan tujuan umum pembelajarannya.

(c) Rincilah media untuk melakukan kegiatan itu.

(d) Buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa.

(e) Nyatakan authentic assessment-nya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran.

Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual, jika menetapkan komponen utama pembelajaran efektif ini dalam pembelajarannya. Penerapan pendekatan kontektual secara garis besar menurut Syaiful (2003:92) adalah (1) kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; (2) laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua pokok bahasan; (3) mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya; (4) menciptakan masyarakat belajar; (5) menghadirkan model; (6) melakukan refleksi; (7) melakukan penilaian.

Pembelajaran IPA dengan pendekatan kontektual mendorong para guru untuk memilih dan mendesain lingkungan belajar yang memungkinkan untuk mengaitkan berbagai bentuk pengalaman sosial, budaya, fisik dan psikologi dalam meningkatkan hasil dan keaktifan siswa dalam belajar. Pemanfaatan pendekatan kontekstual akan menciptakan ruangan kelas yang di dalamnya siswa menjadi aktif bukan hanya pengamat yang pasif dan bertanggung jawab dalam belajarnya.

Penerapan pembelajaran kontekstual akan sangat membantu guru untuk menghubungkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa untuk membentuk hubungan antara pengetahuan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehai-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan pemaknaan sebuah pembelajaran akan dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Melalui pendekatan kontekstual siswa menemui hubungan yang sangat bermakna antara ide-ide abstrak dan penerapan praktis dalam konteks dunia nyata.

komponen pokok dalam pendekatan kontekstual

1) Kontruktivisme

Kontruktivis merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual yaitu pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit), dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata (Depdiknas 2002:10).

Teori-teori kontrukstivis menyatakan bahwa siswa itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi kompleks, mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi (M. Nur dan Prima Retno 2000:2). Teori ini menganjurkan peranan yang lebih aktif bagi siswa dalam pembelajaran mereka sendiri. Pembelajaran berpusat pada siswa atau student- centred instruction. Peran guru hanya membantu siswa menemukan fakta, konsep dan prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas.

Wina (2005:118) berpendapat bahwa kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Filsafat kontruktivis yang digagas oleh Mart Baldawin dan dikembangkan dan diperdalam oleh Jean Piaget menganggap bahwa pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek semata, akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya.

Prinsip dasar konstruktivisme yang dalam praktek pembelajaran yang harus dipegang guru menurut Masnur (2007:44) sebagai berikut:

(a) Proses pembelajaran lebih utama dari pada hasil pembelajaran

(b) Informasi bermakna dan relevan dengan kehidupan nyata siswa lebih penting dari pada informasi verbalistis.

(c) Siswa mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan menerapkan idenya sendiri.

(d) Siswa diberikan kebebasan untuk menerapkan strateginya sendiri dalam belajar.

(e) Pengetahuan siswa tumbuh dan berkembang melalui pengalaman sendiri.

(f) Pengalaman siswa akan berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila diuji dengan pengalaman baru.

(g) Pengalaman siswa bisa dibangun secara asimilasi (yaitu pengetahuan baru dibangun dari struktur pengetahuan yang sudah ada) maupun akomodasi (yaitu struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung/menyesuaikan hadirnya pengetahuan baru).

Pembelajaran melalui pendekatan kontekstual pada dasarnya mendorong siswa dapat mengkontruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalamannya. Siswa didorong untuk mampu mengkontruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman nyata

2) Menemukan (Inquiri)

Inquiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran kontekstual. Pengetahuan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri yang siklusnya observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data dan penyimpulan (Depdiknas 2002:12). Prinsip yang bisa dipegang guru ketika menerapkan komponen inquiri dalam pembelajaran Masnur (2007:45 ) menjelaskan: (1) Pengetahuan dan keterampilan akan lebih lama diingat apabila siswa menemukan sendiri. (2) Informasi yang diperoleh siswa akan lebih mantap apabila diikuti dengan bukti-bukti atau data yang ditemukan sendiri oleh siswa. (3) Siklus inquiri adalah observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan penyimpulan. (4) Langkah kegiatan inquiri adalah merumuskan masalah, mengamati atau melakukan observasi, menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lain. Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil pada pihak lain (pembaca, teman sekelas, guru, audiens dan lain-lain).

Langkah-langkah menemukan (inquiri) adalah (1) merumuskan masalah, (2) mengamati atau melakukan observasi, (3) menganalisa dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel dan karya lainnya, (4) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audiens lainnya.

Asas menemukan sendiri merupakan asas penting dalam pembelajaran kontekstual. Dengan proses berpikir yang sistematis ini diharapkan siswa memiliki sikap ilmiah, rasional, dan logis yang dapat dijadikan dasar pembentukan keaktifan siswa dalam pembelajaran.

3) Bertanya (Questioning).

Belajar pada hakekatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir (Wina 2005:120).

Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.

Depdiknas (2002:14) dijelaskan kegiatan bertanya berguna untuk: (1) Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis. (2) Mengecek pemahaman siswa. (3) Membangkitkan respon kepada siswa. (4) Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa.(5) Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru.(6) Untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa. (7) Untuk menyegarkan kembali ingatan siswa.

Melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang disampaikan dalam pembelajaran kontekstual. Kemampuan guru untuk bertanya sangat diperlukan, karena dalam setiap tahapan dan proses pembelajaran kegiatan bertanya selalu digunakan.

4) Masyarakat belajar (Learning Community)

Konsep masyarakat belajar dalam kontekstual menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Kerjasama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah (Wina 2005:120). Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sarring dengan orang lain, antar teman, antar kelompok, yang sudah tahu memberitahu yang sudah tahu, yang punya pengalaman berbagi pengalaman dengan orang lain. Masyarakat belajar adalah masyarakat yang saling membagi.

Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang lain bisa menjadi sumber belajar, dan berarti setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan dan pengalaman. Metode pembelajaran dengan teknik learning community ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Prakteknya dalam pembelajaran dijelaskan dalam Depdiknas (2002:16) adalah (1) Pembentukan kelompok kecil.(2) Pembentukan kelompok besar.(3) Mendatangkan ahli ke kelas (tokoh, olahragawan, dokter, perawat, petani, pengurus organisasi, polisi, tukang kayu, dsb). (5) Bekerja dengan kelas sederajat. (6) Bekerja dengan kelompok dengan kelas di atasnya. (7) Bekerja dengan masyarakat.

5) Permodelan (Modeling)

Permodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa (Wina 2005:121). Misalnya guru memberikan contoh bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing, guru olahraga memberikan contoh bagaimana cara memainkan alat mosik, guru biologi memberikan contoh bagaimana cara menggunakan termometer dan sebagainya.

Pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu memerlukan model yang dapat ditiru. Dalam pendekatan kontekstual guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Model juga dapat didatangkan dari luar. Seorang penutur asli bahasa inggris sekali waktu dapat dihadirkan dikelas untuk menjadi model cara berujar, cara bertutur kata, gerak tubuh ketika bicara, dan sebagainya. Penggunaan model akan membantu dalam pemahaman gejala dari suatu konsep yang abstak.

6) Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan pada masa yang lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru yang baru atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima (Depdiknas 2002:12).

Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan yang diperoleh diperluas melalui konteks pembelajaran yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru membantu siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru. Sehingga siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinyatentang materi yang dipelajarinya. Pengetahuan itu mengendap dibenak siswa, kemudian mempelajarinya, maka siswa akan memperoleh ide-ide baru.

Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilakukannya. Melalui refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian pengetahuan yang dimilikinya (Wina 2005:122). Prinsip-prinsip dasar yang perlu diperhatikan guru dalam rangka penerapan komponen refleksi adalah: (1) Perenungan atas sesuatu pengetahuan yang baru diperoleh merupakan pengayaan atas pengetahuan sebelumnya.(3) Perenungan merupakan respons atas kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diperolehnya. (3) Perenungan bisa berupa menyampaikan penilaian atas pengetahuan yang baru diterima, membuat catatan singkat, diskusi dengan teman sejawat, atau unjuk kerja.

Refleksi dapat membuat siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya. Kunci dari semua itu adalah, bagaimana pengetahuan itu mengendap di benaknya. Kesadaran seperti ini perlu ditanamkan kepada siswa agar bersikap terbuka terhadap pengetahuan baru. Biarkan siswa secara bebas menafsir pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang penagalaman belajarnya.

7) Penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).

Wina (2005: 122) menjelaskan penilaian nyata atau sebenarnya adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak. Apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa

Gambaran perkembangan pengalaman belajar siswa perlu diketahui guru setiap saat agar bisa memastikan benar tidaknya proses pembelajaran siswa. Prinsip-prinsip dasar yang perlu menjadi perhatian guru ketika menerapkan penilaian autentik dalam pembelajaran, Masnur (2007:47) menjelaskan sebagai berikut:

(a) Penilaian autentik bukan menghakimi siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan belajar siswa.

(b) Penilaian autentik dilakukan secara komprehensif dan seimbang antara penilaian proses dan hasil.

(c) Guru menjadi penilai yang konstruktif (constructive evaluator) yang dapat merefleksikan bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa menghubungkan apa yang mereka ketahui dengan berbagai konteks, dan bagaimana perkembangan belajar siswa dalam berbagai konteks belajar.

(d) Penilaian autentik memberikan kesempatan siswa untuk dapat mengembangkan penilaian diri (self assessment) dan penilaian sesama (peer assesment).

(e) Penilaian autentuk mengukur keterampilan dan peformansi dengan kriteria yang jelas (peformant-based).

(f) Penilaian autentik dilakukan dengan berbagai alat secara berkesinambungan sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.

(g) Penilaian autentik dapat dimanfaatkan oleh siswa, orang tua dan sekolah untuk mendiagnosis kesulitan belajar, umpan balik pembelajaran, dan/ atau untuk menentukan prestasi siswa.

Karakteristik anthentic assessment dalam Depdiknas (2002:20) adalah (1) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlansung. (2) Bisa digunakan untuk formatif dan sumatif.(3) Yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta. (4) Berkesinambungan. (5) Terintegral. (6) Dapat digunakan sebagai feed back.

Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa dalam penilaian autentik adalah: Proyek/kegiatan dan laporan, PR, kuis, karya wisata, presentasi atau penampilan siswa, demontrasi, laporan, jurnal, hasil tes tulis, dan karya tulis. Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian dilakukan secara terus menerus selama pembelajaran berlansung.

Sabtu

pendekatan kontekstual

Pendekatan pembelajaran menurut Syaiful (2003:68) adalah sebagai aktifitas guru dalam memilih kegiatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran sebagai penjelas dan juga mempermudah bagi para guru memberikan pelayanan belajar dan juga mempermudah siswa untuk memahami materi ajar yang disampaikan guru, dengan memelihara suasana pembelajaran yang menyenangkan.

Pendekatan kontekstual dapat membuat variasi dalam pembelajaran dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai. Pendekatan pembelajaran tentu tidak kaku harus menggunakan pendekatan tertentu, artinya memilih pendekatan disesuaikan dengan kebutuhan materi ajar yang dituangkan dalam perencanaan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran yang sering dipakai oleh para guru antara lain: pendekatan konsep dan proses, pendekatan deduktif dan induktif pendekatan ekspositori dan heuristik, pendekatan kecerdasan dan pendekatan konstektual.

Landasan filosofi pendekatan kontekstual adalah kontruktivisme, yaitu filisofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal tetapi mengkonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya (Masnur 2007:41). Tiap orang harus mengkontruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses itu keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang ( Paul S 1996:29 ).

Depdiknas (2002:5) menyatakan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) sebagai konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen, yakni: (1) kontruktivisme (Constuctivism), (2) bertanya (Questioning), (3) menemukan (Inquiri), (4) masyarakat belajar (Learning Community), (5) permodelan (Modeling), (6) Refleksi (Reflection), (7) penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).

Jonhson (2007:67) menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran konstekstual atau CTL (Contextual Teaching and Learning) adalah sebuah proses pendidikan yang menolong para siswa melihat makna dalam materi akademik dengan konteks dalam kehidupan seharian mereka, yaitu konteks keadaan pribadi, social, dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini sistem tersebut meliputi delapan komponen berikut: (1) membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang berarti, (3) melakukan pekerjaan yang diatur sendiri, (4) melakukan kerja sama, (5) berfikir kritis dan kreatif, (6) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, (7) mencapai standar yang tinggi, (8) menggunakan penilaian autentik.

Pendekatan kontektual atau Contextual Teching and Learning, Wina (2005:109) menjelaskan, suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.Terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual yaitu :

(a) Dalam pendekatan kontekstual pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge).

(b) Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowlwdge).

(c) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk diyakini dan dipahami.

(d) Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan prilaku siswa.

(e) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan.

Setiap bagian pendekatan kontekstual atau CTL yang berbeda ini akan memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami tugas sekolah. Secara bersama-sama mereka membentuk suatu sistem yang memungkinkan para siswa melihat makna di dalamnya, dan mengingat materi akademik.

Wina (2005:125) menjelaskan beberapa hal penting dalam pembelajaran melalui pendekatan kontekstual atau CTL sebagai berikut:

(a) CTL adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa secara penuh, baik fisik maupun mental.

(b) CTL memandang bahwa belajar bukan menghafal akan tetapi porses pengalaman dalam kehidupan nyata.

(c) Kelas dalam pembelajaran CTL, bukan sebagai tempat memperoleh informasi, akan tetapi sebagi tempat untuk menguji data hasil temuan mereka dilapangan.

(d) Materi pelajaran ditemukan oleh siswa sendiri bukan hasil pemberian orang lain.